Pada 1989, siswa di China menggelar unjuk rasa untuk memperjuangkan
demokrasi dan kebebasan di jantung ibu kota, memancing dukungan dari kaum
pekerja dan intelektual hingga memicu aksi protes di seluruh penjuru negara.
Setelah beberapa pekan, demonstrasi itu dilibas dengan serangan militer
yang merenggut ratusan, bahkan ribuan nyawa.
Di kancah dunia, peristiwa ini masih terus diingat. Namun di China,
tragedi ini ditutup-tutupi, bahkan tak pernah disebut lagi.
Untuk mengenang tragedi tersebut, AFP merangkum lima momen kunci dari
peristiwa penuh gejolak tersebut.
Kematian sang reformator
Keputusasaan warga China memuncak ketika tokoh politik yang mereka
anggap sebagai reformator sejati, Hu Yaobang, meninggal dunia pada 15 April.
Hu Yaobang terpilih sebagai pemimpin Partai Komunis China pada 1981,
tapi kemudian diberhentikan enam tahun setelahnya karena dianggap terlalu
santai menghadapi gelombang kerusuhan mahasiswa.
Aksi protes menjamur
Pada 25 April, pemimpin tertinggi Deng Xiaoping menyatakan bahwa
gerakan protes itu digelar sebagai upaya untuk menggulingkan Partai Komunis.
Klaim itu memicu opini yang menggegerkan di koran pemerintah, People's
Daily, pada hari berikutnya. Opini yang menyulut emosi itu mendorong semakin
banyak orang yang membanjiri ruas-ruas jalan di Beijing pada 27 April.
Tiananmen Diduduki
Ratusan siswa menduduki Lapangan Tiananmen dan memulai aksi mogok makan
pada 13 Mei, diikuti oleh ribuan orang lainnya pada hari-hari berikutnya
.
Aksi itu disebut mengganggu kunjungan bersejarah pemimpin reformis
Soviet, Mikhail Gorbachev, untuk normalisasi hubungan Sino-Soviet pada 15 Mei.
Darurat militer diberlakukan
Pada 19 Mei, Ketua Partai Zhao Ziyang dalam penampilan publik
terakhirnya secara emosional memohon para pemogok makan untuk meninggalkan
lapangan.
Disingkirkan karena menentang penggunaan pasukan untuk membubarkan
massa, Zhao kemudian dipecat dan dimasukkan ke dalam tahanan rumah selama 16
tahun sampai kematiannya.
Perdana Menteri Li, yang kemudian dijuluki "Penjagal Beijing"
karena berperan dalam penumpasan berdarah, lantas mendeklarasikan darurat
militer di beberapa bagian ibukota pada 20 Mei.
Namun para siswa tetap bertahan, mendirikan sebuah patung bernama
"Dewi Demokrasi" yang menghadap potret Mao Zedong di dinding
Forbidden City.
Penumpasan berdarah
Pada 3 Juni malam, di persimpangan Muxidi, tank menerobos barikade bus
yang sengaja disiagakan untuk menghalangi mereka masuk. Tentara pun menembaki
kerumunan.
Melaju dari semua sisi, pasukan mengepung Lapangan Tiananmen pada 4
Juni dini hari. Di bawah pengawasan pasukan dengan bayonet, siswa yang tersisa
meninggalkan lapangan.
Sebagian besar jasad mereka yang terbunuh berserakan di jalan. Jumlah
korban hingga kini masih diperdebatkan, dan pemerintah setempat tidak pernah
merilis angka kematian resmi.
Namun, akademisi, saksi, dan kelompok hak asasi manusia memperkirakan
tragedi itu merenggut ratusan hingga lebih dari seribu nyawa.
Pada 5 Juni, seorang pria memblokir tank dan kendaraan lapis baja yang
berjajar jauh di jalan. Setelah dua menit, pria itu diamankan aparat.





No comments:
Post a Comment